TULISAN M9
SEJARAH ADANYA PENGAMEN
Ngamen sebenarnya dapat diartikan sebagai menjual “keahlian”,
khususnya dalam bidaang musik yang berpindah-pindah tempat atau berkeliling
dari satu tempat ke tempat yang lain, sedangkan pengamen adalah orang yang
melakukan kegiatan ngamen tersebut. Menjual keahlian karena dilihat dari
sejarahnya banyak pengamen di Jawa memang berlatar belakang sebagai pemain
karawitan (musik tradisional Jawa). Sebagai contoh Wiro Sumarto dari Klaten
Jawa Tengah, yang memang seorang pangrawit yang karena sepinya pertunjukan
musik, maka dengan teman-temannya dia menggantungkan hidup dari kegiatan
bermain musik keliling dengan menjual jasa secara suka rela, namun dengan
harapan ada balasan berupa materi (uang). Kegiatan ini sudah dimulai sebelum
tahun 1960-an. Pada tahun 1969 muncul seorang pengamen generasi mereka di
Yogyakarta, yaitu Pak Sujud. Dalam bahasa Cirebon disebut dengan Bebarang.
Karena tidak ada satu tempat khusus sebagai tempat pertunjukannya, dan dianggap
sebagai kesenian yang kualitasnya rendah maka ngamen
diartikan sebagai ngemis atau meminta-minta.
Mengamen diartikan sebagai meminta sesuatu (uang) dengan usaha yg seminimal
mungkin.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ngamen
terdiri dari dua pengertian, pertama sebagai
kegiatan keliling bermain musik dengan mengharapkan bayaran, kedua sebagai
kegiatan pergi melaut mencari ikan. Demikian juga pengertian yang sama dalam
Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Dalam kamus online pengamen ditulis sebagai “beg
while singing playing musical instruments or reciting prayers, atau be
persistent (memaksa).” Pengertian-pengertian yang diberikan dalam
beberapa kamus pengertiannya hampir sama. Kegiatan bermain musik dari satu
tempat ke tempat lain dengan mengharapkan imbalan sukarela atas pertunjukan
yang mereka suguhkan. Namun karya yang mereka suguhkan berbeda-beda, baik dari
segi bentuk dan kualitas maupun performanya.
Entah sejak kapan pengamen itu ada, tapi pastinya seseorang mulai mengenal
istilah “ngamen” dan para pelakunya di panggil sebagai “pengamen”.
Bisa diduga ngamen memang sudah ada sejak manusia mengenal alat musik. Karena
ngamen umumnya bernyayi diiringi dengan alat musik. Meskipun akhir-akhir ini
pernah saya temui pengamen yang tidak memakai alat musik.
Pengamen sering pula diartikan sebagai
penyanyi jalanan (Inggris: street singers), sementara musik-musik
yang dimainkan umumnya disebut sebagai musik jalanan. Pengertian antara musik
jalanan dengan penyanyi jalanan secara terminologi tidaklah sederhana, karena
musik jalanan dan penyanyi jalanan masing-masing mempunyai disiplin dan
pengertian yang spesifik bahkan dapat dikatakan suatu bentuk dari sebuah warna
musik yang berkembang di dunia kesenian.
Dalam sejarahnya, pengamen telah ada sejak abad pertengahan
terutama di Eropa bahkan di kota lama London terdapat jalan bersejarah bagi
pengamen yang berada di Islington, London. Pada saat itu musik di Eropa
berkembang sejalan dengan penyebaran musik keagamaan yang kemudian dalam
perkembangannya beberapa pengamen merupakan sebagai salah-satu landasan
kebudayaan yang berpengaruh dalam kehidupan umat manusia.
Tetapi akhir-akhir ini
banyak pelarangan bahkan pelecehan terhadap aktivitas ngamen, hingga sekarang
masih banyak sebagian orang terutama di kota-kota besar yang bertahan melakoni
aktivitas ngamen. Alasannya pun beragam mulai dari berkesenian, hobi, hingga
alasan kesulitan ekonomi. Alasan terakhir inilah yang sering muncul
kepermukaan, sehingga ngamen selalu identik dengan sebuah upaya alternatif
untuk mengumpulkan uang bahkan lebih buruknya lagi image pengamen identik
dengan pengemis. Mungkin image pengamen dianggap lebih prestisius di banding pengemis
sehingga banyak dengan alasan keterdesakan ekonomi, meski ia tidak mahir
bernyanyi, ngamen menjadi alternatif yang menjanjikan bahkan jika dipadukan
dengan mengemis bisa menjadi lebih menguntungkan. Sering kali kita menemui di
jalan-jalan seseorang mengamen sambil mengendong balita mungil.
Fenomena
tersebut adalah realitas sosial yang kita temui sehari-hari. Bahwa telah
terjadi reduksi imej pengamen di mata masyarakat. Hal ini bisa disebabkan dari
dalam ataupun dari luar. Dari dalam bisa disebabkan factor personal, yakni
ngamen sebagai sebuah aktivitas dimaknai oleh oknum sebagai sebuah alternatif
yang bersifat pragmatis. Ngamen dimaknai sebagai upaya mengumpulkan uang
semaksimal mungkin tanpa mempertimbangakan balas jasa (skill suara dan musik).
Pengamen tidak lagi mepertimbangan kemampuannya dalam menjalankan aktifitasnya.
Dan yang kedua, adalah factor structural yakni pemerintah belum mampu berperan
dan memberikan solusi terhadap nasib masyarakat, termasuk para pengamen dan
pengemis. Pemerintah belum mampu memberikan lapanagn kerja serta ruang
berekspresi. Oleh sebab itu solusinya adalah sediakan ruang ekspresi bagi para
pengamen jalanan agar mereka mampu menghasilkan karya-karya. Jika pemerintah
acuh tak acuh terhadap permasalahan ini. Maka jangan salahkan masyarakat jika
semakin banyak pengamen-pengamen “anyar” bermunculan.
Referensi :
Komentar
Posting Komentar